Pernahkah kalian
mendengar tentang teknologi batubara?
Seiring berkembangnya teknologi, batubara tidak hanya dapat
ditambang secara langsung. Namun batubara dapat memberikan manfaat lainnya
untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan manusia. Istilah CBM atau Coal Bed Methane ini sudah tidak asing
lagi ditelinga mahasiswa atau masyarakat. Banyak diantara mereka yang
mengetahui bahwa CBM merupakan batubara yang dapat menghasilkan gas. Yups,
secara konsep sederhana untuk mahasiswa atau masyarakat awam, konsep tersebut
dapat dibenarkan. Untuk mengetahui seluk-beluk mengenai CBM, boleh dibaca
sedikit ringkasan dari saya yang diambil dari salah satu paper Coal of Geology (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).
Selamat membaca! :D
Coal Bed Methane (CBM)
Coal Bed Methane merupakan bagian yang
penting dari energi campuran nasional. Walaupun sekarang ini pemasukan energi
tersebut menyumbangkan sekitar 7% dari energi gas alam nasional. CBM merupakan
hidrokarbon non-konvensional yang secara fundamental berbeda pada proses
akumulasinya dan teknologi produksinya. CBM adalah gas alam yang yang secara
virtual mengandung 100% metana yang berasal dari reservoar coal seam. Coal seam adalah istilah untuk layer-layer atau lapisan
suatu batubara.
CBM biasanya diproduksi pada kedalaman yang dangkal dan diproduksi dengan volume air yang besar. CBM diproduksi melewati lubang bor yang mengizinkan gas dan air dihasilkan secara bersamaan ke permukaan. CBM telah dikembangkan sejak tahun 1926 di Oklahoma dan tahum 1951 di San Juan Basin. Produksi CBM terus bertambah di Amerika Utara sebagai operator yang mengembangkan teknik baru untuk pengeboran dan produksi coal seam yang berbeda pada tingkatan dan kualitasnya.
Pembentukan Batubara
Batubara adalah batuan sedimen yang asalnya dari akumulasi material inorganik dan organik. Batubara secara dominan berupa material organik tumbuhan, umumnya kayu, daun, ranting, batang, bibit, spora, pollen, bagian-bagian lainnya dari tumbuh-tumbuhan. Pada awalnya semua material organik tumbuhan ini terakumulasi pada suatu lahan basah yang disebut dengan gambut. Sedangkan lahan basah tempat terakumulasi gambut ini disebut dengan mire. Gambut yang terendapkan dan terpreservasi akan mengalami perubahan fisika dan kimiawi seiring bertambahnya kedalaman, suhu dan tekanan. Secara fisika, material organik tumbuhan ini akan pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut dengan maseral. Maseral ini dapat dibedakan dengan bantuan mikroskop. Sedangkan secara kimiawi, material organik tumbuhan ini lambat alun akan terkonversi menjadi senyawa yang kaya akan karbon. Gambut kemudian akan mengalami proses kompaksi dan pembatubaraan yang menghasilkan batubara dengan peringkat terendah sampai tertinggi mulai dari lignit, sub-bituminous, bituminous, dan antrasit. Selain material organik, lingkungan pengendapan pun sangat mempengaruhi suatu batubara dapat terbentuk. Lingkungan yang terbatas akan oksigen, terlindungi dari proses oksidasi, dan sedikit akan suplai sedimen silisiklastik, menjadikan batubara dapat terbentuk pada lingkungan tersebut. Dengan kata lain, batubara membutuhkan lingkungan yang terisolasi untuk dapat mempreservasi material organiknya.
Gambar 1. Sedimentasi tumbuhan dan pembentukan gambut (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002)
Produksi CBM
Produksi CBM merupakan
produksi yang mempertimbangkan beberapa faktor mulai dari pengembangan
permeabilitas rekahan dari cekungan ke cekungan, migrasi gas, maturasi batubara,
distribusi batubara, geologi struktur, pilihan penyempurnaan CBM, dan produksi
pengaturan air. Hal tersebut dimulai dengan pengembangan cleat (rekahan). Batubara mengandung porositas tapi sangat sedikit
akan permeabilitas. Sehingga dibutuhkan permeabilitas sekunder seperti rekahan
untuk memproduksi gas dari batubara tersebut. Rekahan tersebut mengizinkan air,
gas alam, dan fluida lainnya untuk migrasi dari porositas matriks ke sumur
produksi. Cleat adalah istilah untuk
jaringan rekahan alami yang terbentuk pada coal
seam sebagai bagian dari pematangan batubara. Bentuk cleat sebagai hasil dari dehidrasi batubara, tekanan lokal dan
regional, dan overburden. Cleat menjadi pengontrol permeabilitas
batubara, kemudian di dalam eksploitasi berperan untuk memposisikan sumur dan
jaraknya satu sama lain.
Gambar 2. Skema produksi gas dan air pada tipe sumur CBM (USGS, 2000).
Gambar 3. Cleat pada coal seam. Cleat merupakan jaringan rekahan alami untuk tempat terabsorpsinya gas pada coal seam (Amijaya, 2010).
Gambar 4. CBM Drilling Example (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).
Artikel yang menarik.
BalasHapusJadi muncul pertanyaan, tahun lalu vico (bpmigas) mengadakan survei Hidrogeologi untuk pengembangan CBM.
Memangnya buat apa survei hidrogeologi segala??
Untuk Bro : Survei hidrogeologi digunakan nantinya untuk memproduksi gas yg ter-adsorp di permukaan batubaranya (maceral/kerogennya) maupun dimatrixnya melalui hydraulic fracturing/ membuat rekahan dan jalan bagi gas agar bisa diekstrak. Hampir 90% dari bahan yg digunakan untuk hydraulic fracturing berupa fresh water (sisanya proppant sand dan surfactant), sehingga survei hidrogeologi penting juga untuk menilai mudah/tidaknya produksi CBM dilakukan di daerah tsb. Selanjutnya untuk waste disposal dari campuran air+chemical juga harus dianalisa oleh hidro-geologist akan ditampung/ dialirkan/ diinjeksikan kemana...
BalasHapus@mas bro : saya setuju dengan pernyataan dari mbak dita. Jadi pada pengembangan CBM memang dibutuhkan survei hidrogeologi dengan tujuan untuk mengontrol produksi dari gas yang teradsorpsi. Pada dasarnya coal itu memiliki porositas tetapi permeabilitasnya sangat kecil Gas terjebak di dalam macroporosity atau microporosity. Untuk mengeluarkan gas tersebut dilakukan treatment dengan cara menurunkan atau menghilangkan tekanan sehingga gas di dalam matriks dapat migrasi ke cleat dengan bantuan pemompaaan air (dewatering) sebagai hidrostatis.
BalasHapus