Selasa, 12 Februari 2013

Coal Bed Methane


Pernahkah kalian mendengar tentang teknologi batubara?

        Seiring berkembangnya teknologi, batubara tidak hanya dapat ditambang secara langsung. Namun batubara dapat memberikan manfaat lainnya untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan manusia. Istilah CBM atau Coal Bed Methane ini sudah tidak asing lagi ditelinga mahasiswa atau masyarakat. Banyak diantara mereka yang mengetahui bahwa CBM merupakan batubara yang dapat menghasilkan gas. Yups, secara konsep sederhana untuk mahasiswa atau masyarakat awam, konsep tersebut dapat dibenarkan. Untuk mengetahui seluk-beluk mengenai CBM, boleh dibaca sedikit ringkasan dari saya yang diambil dari salah satu paper Coal of Geology (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).

Selamat membaca! :D

Coal Bed Methane (CBM)

Coal Bed Methane merupakan bagian yang penting dari energi campuran nasional. Walaupun sekarang ini pemasukan energi tersebut menyumbangkan sekitar 7% dari energi gas alam nasional. CBM merupakan hidrokarbon non-konvensional yang secara fundamental berbeda pada proses akumulasinya dan teknologi produksinya. CBM adalah gas alam yang yang secara virtual mengandung 100% metana yang berasal dari reservoar coal seam. Coal seam adalah istilah untuk layer-layer atau lapisan suatu batubara.

CBM biasanya diproduksi pada kedalaman yang dangkal dan diproduksi dengan volume air yang besar. CBM diproduksi melewati lubang bor yang mengizinkan gas dan air dihasilkan secara bersamaan ke permukaan. CBM telah dikembangkan sejak tahun 1926 di Oklahoma dan tahum 1951 di San Juan Basin. Produksi CBM terus bertambah di Amerika Utara sebagai operator yang mengembangkan teknik baru untuk pengeboran dan produksi coal seam yang berbeda pada tingkatan dan kualitasnya.

Pembentukan Batubara

Batubara adalah batuan sedimen yang asalnya dari akumulasi material inorganik dan organik. Batubara secara dominan berupa material organik tumbuhan, umumnya kayu, daun, ranting, batang, bibit, spora, pollen, bagian-bagian lainnya dari tumbuh-tumbuhan. Pada awalnya semua material organik tumbuhan ini terakumulasi pada suatu lahan basah yang disebut dengan gambut. Sedangkan lahan basah tempat terakumulasi gambut ini disebut dengan mire. Gambut yang terendapkan dan terpreservasi akan mengalami perubahan fisika dan kimiawi seiring bertambahnya kedalaman, suhu dan tekanan. Secara fisika, material organik tumbuhan ini akan pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut dengan maseral. Maseral ini dapat dibedakan dengan bantuan mikroskop. Sedangkan secara kimiawi, material organik tumbuhan ini lambat alun akan terkonversi menjadi senyawa yang kaya akan karbon. Gambut kemudian akan mengalami proses kompaksi dan pembatubaraan yang menghasilkan batubara dengan peringkat terendah sampai tertinggi mulai dari lignit, sub-bituminous, bituminous, dan antrasit. Selain material organik, lingkungan pengendapan pun sangat mempengaruhi suatu batubara dapat terbentuk. Lingkungan yang terbatas akan oksigen, terlindungi dari proses oksidasi, dan sedikit akan suplai sedimen silisiklastik, menjadikan batubara dapat terbentuk pada lingkungan tersebut. Dengan kata lain, batubara membutuhkan lingkungan yang terisolasi untuk dapat mempreservasi material organiknya.

Gambar 1. Sedimentasi tumbuhan dan pembentukan gambut (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002)

CBM secara natural mengandung metana yang jumlahnya sedikit akan hidrokarbon lainnya dan non-hidrokarbon gas. Proses ini bermula dari material tumbuhan dan terkonversi menjadi gambut kemudian batubara. Gambut yang terendapkan kemudian mengalami perubahan secara fisika dan kimiawi seiring bertambahnya kedalaman, suhu, dan tekanan. Akibatnya terjadi perubahan gambut menjadi batubara yang ditunjukkan dengan perubahan senyawa dan konsentrasi dari karbon. Transformasi gambut menjadi batubara adalah istilah proses pematangan secara gradual. Proses pematangan ini biasanya mengukur reflektan vitrinit. Vitrinit adalah grain pada batubara yang ditemukan dalam jumlah yang banyak. Reflektan vitrinit digunakan sebagai subjek untuk mengetahui pematangan, kenaikan kandungan karbon, dan penurunan kandungan volatil. Jika reflektan naik, maka batubara matang.

Produksi CBM

Produksi CBM merupakan produksi yang mempertimbangkan beberapa faktor mulai dari pengembangan permeabilitas rekahan dari cekungan ke cekungan, migrasi gas, maturasi batubara, distribusi batubara, geologi struktur, pilihan penyempurnaan CBM, dan produksi pengaturan air. Hal tersebut dimulai dengan pengembangan cleat (rekahan). Batubara mengandung porositas tapi sangat sedikit akan permeabilitas. Sehingga dibutuhkan permeabilitas sekunder seperti rekahan untuk memproduksi gas dari batubara tersebut. Rekahan tersebut mengizinkan air, gas alam, dan fluida lainnya untuk migrasi dari porositas matriks ke sumur produksi. Cleat adalah istilah untuk jaringan rekahan alami yang terbentuk pada coal seam sebagai bagian dari pematangan batubara. Bentuk cleat sebagai hasil dari dehidrasi batubara, tekanan lokal dan regional, dan overburden. Cleat menjadi pengontrol permeabilitas batubara, kemudian di dalam eksploitasi berperan untuk memposisikan sumur dan jaraknya satu sama lain.

Gambar 2. Skema produksi gas dan air pada tipe sumur CBM (USGS, 2000).

Pada coal seam, gas terabsorpsi pada laminasi mikroskopis dan mikropori pada maseral batubara. Gas alam akan migrasi melewati rekahan dan kekar-kekar yang berhubungan. Kemudian terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi CBM yaitu pengembangan hidrokarbon dan fluida lainnya. Selama pematangan batubara mulai dari gambut sampai antrasit, mereka mentransformasi fluida pada sumur. Low rank peat dan lignit memiliki porositas tinggi, kandungan air tinggi, suhu biogenik rendah, dan sedikit fluida lainnya. Sedangkan batubara tipe bituminous, airnya telah hilang, porositas menurun, formasi biogenik metana menurun karena suhu naik di atas suhu rata-rata bagi bakteri. Pada waktu yang sama, panas merusak senyawa organik kompleks untuk mengeluarkan metana dan gas dengan fraksi yang lebih berat (etana dan yang lebih tinggi). Inorganik gas dapat dihasilkan dari termal batubara yang hancur. Selama proses pematangan sampai antrasit, metana yang rendah dihasilkan dan sedikit akan porositas dan sisa air pada matriks.

Gambar 3. Cleat pada coal seam. Cleat merupakan jaringan rekahan alami untuk tempat terabsorpsinya gas pada coal seam (Amijaya, 2010).

Faktor lainnya adalah metode penyempurnaan CBM. Sumur CBM dikomplitkan dengan beberapa jalan tergantung pada tipe batubara dan fluidanya. Setiap tipe batubara (sub-bituminous, bituminous, antrasit) menawarkan cara produksinya masing-masing sesuai dengan rekahan alami dan kompetensi dari coal seam. Contohnya saja, sub-bituminous lebih lembut dan memiliki kompetensi coal seam yang rendah dibandingkan dengan bituminous, sehingga secara tipe coal seam-nya produksi dilakukan dengan cara konvensional yaitu sumur vertikal. Sedangkan batubara dengan peringkat tinggi memiliki kompetnsi yang tinggi, sehingga dapat dilakukan dengan open pit. Namun untuk teknik yang banyak digunakan dengan horizontal drain-hole.

Gambar 4. CBM Drilling Example (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).

3 komentar:

  1. Artikel yang menarik.

    Jadi muncul pertanyaan, tahun lalu vico (bpmigas) mengadakan survei Hidrogeologi untuk pengembangan CBM.
    Memangnya buat apa survei hidrogeologi segala??

    BalasHapus
  2. Untuk Bro : Survei hidrogeologi digunakan nantinya untuk memproduksi gas yg ter-adsorp di permukaan batubaranya (maceral/kerogennya) maupun dimatrixnya melalui hydraulic fracturing/ membuat rekahan dan jalan bagi gas agar bisa diekstrak. Hampir 90% dari bahan yg digunakan untuk hydraulic fracturing berupa fresh water (sisanya proppant sand dan surfactant), sehingga survei hidrogeologi penting juga untuk menilai mudah/tidaknya produksi CBM dilakukan di daerah tsb. Selanjutnya untuk waste disposal dari campuran air+chemical juga harus dianalisa oleh hidro-geologist akan ditampung/ dialirkan/ diinjeksikan kemana...

    BalasHapus
  3. @mas bro : saya setuju dengan pernyataan dari mbak dita. Jadi pada pengembangan CBM memang dibutuhkan survei hidrogeologi dengan tujuan untuk mengontrol produksi dari gas yang teradsorpsi. Pada dasarnya coal itu memiliki porositas tetapi permeabilitasnya sangat kecil Gas terjebak di dalam macroporosity atau microporosity. Untuk mengeluarkan gas tersebut dilakukan treatment dengan cara menurunkan atau menghilangkan tekanan sehingga gas di dalam matriks dapat migrasi ke cleat dengan bantuan pemompaaan air (dewatering) sebagai hidrostatis.

    BalasHapus