Minggu, 21 Oktober 2012

Salahkah Dia ?

Salahkah dia yang lahir dari kondisi keluarga yang berkecukupan ?
Salahkah dia yang menaiki motor atau mobil, sedangkan di luar sana teman-temannya berjalan kaki atau menggoes sepeda bututnya ?
Salahkah dia yang memiliki rumah yang luas dan mewah, sedangkan di luar sana ada ibu bapak yang beralaskan tanah dengan dinding kardus sebagai rumahnya ?
Salahkah dia yang duduk di sebuah cafe sambil menikmati secangkir coklat hangat, sedangkan di luar sana ada anak kecil mengais botol plastik di kotak sampah ?
Salahkah dia yang menjinjing tas belanjaan dari mall, sedangkan di luar sana ada ibu tua yang menggendong tas hasil memulungnya seharian ?
Salahkah dia yang tidur di kasur empuk dengan udara sejuk AC di siang hari, sedangkan di luar sana ada sekelompok orang berjualan koran di siang hari yang panas ?
Salahkah dia ?


Cukup berbeda dengan tulisan saya sebelumnya. Dengan tulisan ini saya hanya ingin melihat suatu keadaan berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Jika sebelumnya saya menggambarkan suatu keadaan yang sederhana, perjuangan hidup seorang anak yang berasal dari keluarga yang pas-pas-an, maka pada tulisan ini saya ingin menggambarkan suatu kehidupan anak yang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Walaupun ini hanya opini saya karena saya tidak merasakannya secara langsung.

Tidak ada yang salah dengan seorang anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan. Sekali lagi saya tegaskan TIDAK. Namun yang salah jika anak tersebut tidak memanfaatkan fasilitas yang diberikan orang tuanya secara maksimal. Banyak anak yang tumbuh di dalam keluarga yang berlebihan justru membuat mereka menjadi lalai. Daya juang hidupnya rendah. Mereka malas karena apa yang mereka inginkan pasti dapat terpenuhi oleh orang tuanya. Uang yang berlebihan justru mereka gunakan untuk sesuatu yang merusak dirinya seperti narkoba, free sex, dan lain-lain.

Kesombongan. Itulah yang salah dari anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan. Banyak diantara mereka yang menyombongkan harta dan kedudukan orang tuanya. Status sosial dan ekonomi menjadi segalanya. Mereka hanya mau berteman dengan anak yang memiliki level yang sama dengan mereka. Level di sini tentu saja berdasarkan status sosial dan ekonomi keluarganya. Itulah yang SALAH.

Tetapi tidak semua anak yang lahir dari keluarga berkecukupan memiliki sifat dan sikap seperti ini. Masih banyak orang tua yang mengajarkan anaknya tentang kehidupan yang sebenarnya. Bagaimana menghargai seseorang tanpa harus melihat status sosial dan ekonomi. Bagaimana berteman dengan siapa pun tanpa menyombongkan diri. Bagaimana bersikap dengan seseorang tanpa memandang rendah karena materi semata. Bagaimana berbagi dengan sesama secara ikhlas. 

Saya salut dengan orang tua yang seperti itu. Pada dasarnya lingkungan keluarga sangat mempengaruhi mental seorang anak. Karena semua di mulai dari lingkungan yang kecil yaitu keluarga. Peran orang tua dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya menjadi hal yang utama. Dari tulisan ini, saya hanya ingin mengajak semua orang untuk saling menghargai satu sama lain tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Semoga kelak ketika saya sukses dan memiliki keluarga kecil, saya bisa mendidik anak saya menjadi pribadi yang peka terhadap lingkungan, jauh dari sifat sombong, dan dapat menghargai orang lain tanpa memandang status sosial dan ekonomi.

Tulisan ini terinspirasi saat saya berjalan kaki dari kost (Pogung Kidul) menuju Mirota Kampus. Saya melihat berbagai macam kondisi kehidupan manusia yang ada di sepanjang Jl. Kaliurang. Mulai dari orang yang menaiki mobil, motor, sepeda, atau berjalan kaki seperti saya. Sungguh membuat saya tersentuh dan saat itu juga saya merasa sangat bersyukur dengan kondisi saya sekarang. Masih banyak orang yang jauh tidak beruntung daripada saya. Pesan yang di dapat hari ini "janganlah selalu melihat ke atas. Lihatlah ke atas untuk memotivasimu dan lihatlah ke bawah untuk selalu bersyukur."

21 Oktober 2012
Niera Kost
18:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar